Akhir

A/N: Cerita ini mengandung adegan kekerasan. Bagi yang di bawah umur atau tidak kuat mental dianjurkan untuk tidak membacanya.

Ketika waktu telah menunjukkan pukul 4 sore, itu berarti para karyawan telah menyelesaikan pekerjaannya hari itu dan diperbolehkan untuk pulang. Terlihat beberapa karyawan tengah membereskan barang bawaan mereka dan berjalan ke arah mesin absen untuk menempelkan ibu jari mereka sebelum pulang. Seorang cleaning service langsung membersihkan ruangan setelah para karyawan berlalu pulang.

“Loh, Bu Rissa belum pulang?” sapa Dudi si cleaning service ketika dilihatnya seorang karyawan masih menduduki kursi kerjanya.

“Belum, Di. Masih ada yang harus saya kerjakan,” balas Rissa sambil tersenyum. Ia kembali fokus kepada layar komputer di hadapannya seraya jemarinya menari di atas keyboard.

“Oooh…” Dudi manggut-manggut. “Mau saya ambilkan minum, Bu?”

“Oh nggak usah. Saya udah seduh kopi tadi,” Rissa berkata tanpa menoleh pada Dudi yang masih sibuk menyapu lantai ruangan. Setelah selesai menyapu, ia melihat TV di ruangan masih menyala meski dengan volume yang pelan. Ia lalu mengambil remote TV yang terletak di meja dan menoleh pada Rissa yang masih asyik berkutat dengan pekerjaannya.

“TV nya saya matikan ya, Bu?”

“Nggak usah, biarin aja. Nanti saya yang matiin.” Dudi mengangguk dan meletakkan kembali remote TV tersebut. “Oh ya, kamu kalau mau pulang duluan silahkan aja, nanti saya yang kunci pintunya terus kuncinya dititipin ke satpam.”

Mendengarnya, Dudi menggeleng pelan. “Saya stand by di pantry, Bu. Gak apa-apa kok, toh di rumah juga gak ada siapa-siapa,” ucapnya lalu terkekeh pelan. Rissa menghela napas panjang sambil menatap cleaning service yang sedang tersenyum polos itu. Sebenarnya ia tidak tega membuat Dudi kerja lembur hanya demi dia, namun apa daya pekerjaannya harus selesai besok. Nerissa lebih memilih menyelesaikan pekerjaannya di kantor karena jika sudah sampai rumah ia merasa malas dan letih untuk kembali menyelesaikan pekerjaannya.

“Makasih ya, Di. Nanti kamu saya traktir makan deh,” guyon Rissa yang ditimpali dengan tawa renyah dari Dudi.

“Siap, Bu!” Dudi hormat dengan tangan kanannya seraya berlalu meninggalkan ruangan.

“Baiklah pemirsa kita beralih ke berita selanjutnya. Seorang perempuan ditemukan tewas mengenaskan di pesisir pantai. Tubuhnya dipenuhi dengan luka sayatan dan cabikan.  Namun tim forensik menegaskan bahwa ini bukanlah gigitan atau cakaran binatang buas. Warga semakin resah mengingat ini bukanlah pembunuhan yang pertama. Sebelumnya sudah ada dua kasus pembunuhan serupa dan seluruh korbannya adalah wanita. Polisi menghimbau agar tidak keluar di malam hari dan untuk lebih berhati-hati terutama para wanita…”

Rissa mengernyitkan kening. Tiba-tiba jantungnya berdetak kencang. Pantai itu adalah pantai yang terletak 100 meter dari lokasi kantornya. Tanpa sadar, setetes keringat dingin meluncur dari kening ke pipinya hingga terjatuh dari dagu. Berbagai pikiran negatif berseliweran di benaknya. Ia berusaha menghapusnya dengan memikirkan hal-hal positif. Rissa mengatur napasnya agar kembali normal sebelum melanjutkan kembali pekerjaannya.

Sang surya mulai tenggelam ke balik lautan, mengintip malu-malu dengan secercah cahaya sebelum akhirnya tenggelam dengan sempurna. Malam mulai menyambut. Awan gelap menghalangi sinar bulan. Rissa meregangkan otot-ototnya yang pegal. Akhirnya pekerjaannya selesai juga. Setelah membereskan barang-barangnya, Rissa melangkah menuju pantry. Dibukanya pintu pantry namun tak ada seorang pun di dalam. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri, yang dicari tidak kelihatan batang hidungnya.

“Kemana si Dudi?” gumamnya pelan lalu menutup pintu pantry. Rissa melihat jam tangannya dan terkejut ketika waktu telah menunjukkan pukul setengah 7 malam. Ia memutuskan untuk berjalan keluar dan bilang pada satpam untuk mengunci pintu.

Baru saja hendak memasuki mobilnya, seseorang menepuk pundaknya. Rissa tersentak dan menoleh dengan cepat. Ketika dilihatnya sesosok wajah tampan yang familiar, ia menghembuskan napas lega.

“Nico! Ngagetin aja kamu!” Rissa merajuk manja sambil memukul pelan lengan Nico.

“Mau pulang, Non? Bareng aku aja.” Nico mengedipkan sebelah matanya dengan genit, menuai reaksi tawa dari Rissa.

“Kamu kok di sini? Emang kerjaan udah beres?” ucap Rissa ketika Nico mengambil kunci mobil dari tangannya.

“Udah dong. Aku kan bukan workaholic macam kamu.” Nico membukakan pintu mobil untuk Rissa. Gadis itu melangkah masuk, senyum manis masih terukir di bibirnya.

“Tunggu sebentar, Tuan Putri. Aku harus menunaikan kewajibanku dulu. Ke toilet.” Nico lagi-lagi mengedipkan sebelah matanya sebelum beranjak pergi. Rissa hanya geleng-geleng kepala dibuatnya. Kekasihnya itu memang suka bercanda.

Lama ia menunggu kekasihnya. Tapi yang ditunggu tak muncul juga. Rissa mulai gelisah, apa terjadi sesuatu di sana? Tapi apa yang bisa terjadi di toilet laki-laki? Apalagi di dalam kantor yang aman ini, toh satpam  sudah siap 24/7. Ah, mungkin pacarnya itu sedang siap-siap memberikan kejutan untuknya. Hari ini kan perayaan satu tahun hubungan asmara mereka.

Nico benar-benar memberikan kejutan. Kejutan yang lain daripada yang lain, yang tak pernah Rissa sangka sebelumnya.

BRAK…suara dentuman terdengar dari atap mobil. Rissa menjerit tertahan, napasnya memburu, jantungnya bekerja dua kali lipat lebih cepat. Sekujur tubuhnya serasa kaku, bahkan untuk bergerak sesenti pun rasanya tak sanggup. Matanya membelalak tajam tatkala cairan merah kental bergerak perlahan menuruni kaca depan mobilnya. Sontak, ia menutup mulutnya dengan kedua tangan, berusaha menahan teriakannya. Rissa melirik ke arah kirinya, jendelanya kini di penuhi darah, ia melirik ke kanan, darah pula yang ditemuinya.

Rissa merasakan ketakutan yang amat sangat. Dengan gemetar, ia ingin membuka pintu mobil. Namun, sebelum rencananya terwujud, terdengar suara gesekan dari atap mobil. Sepertinya seseorang menarik apapun yang ada di atas sana turun. Rissa sudah tak tahan lagi. Ia harus pergi dari sini.

BRAK…suara dentuman yang kini berasal dari arah kiri Rissa terdengar memekakkan telinga, disusul oleh lengkingan jeritan Rissa. Dengan mata kepalanya sendiri, Rissa melihat wajah Dudi yang terlumuri darah dengan mata membelalak, mulut menganga, dan leher yang tergorok ditempelkan ke kaca jendelanya. Kelabakan, ia merangkak ke kursi pengemudi, hendak kabur dari apapun yang menerornya. Namun sayang, ia kalah cepat. Pintu mobil dibuka dari luar, muncul Nico dengan senyum bengisnya. Tak ada lagi kedipan matanya yang genit, senyumnya yang jenaka, dan tawanya yang renyah. Kini dihadapannya hanya ada Nico dengan seringai jahat dan tatapan tajam menusuk jantungnya. Di tangan kirinya terdapat pisau tajam berlumuran darah yang sepertinya dipakai untuk membunuh Dudi.

“Nerissa…Bidadari laut…nama yang cantik.” Nico tak memberikan kesempatan mangsanya untuk kabur, ia menjambak rambut Rissa dan menariknya keluar dari mobil. Rissa menjerit kesakitan, tangannya mencengkeram tangan Nico, berusaha melepaskan diri.

Nico meletakkan pisaunya di dekat leher Rissa, tangannya yang satu lagi mendongakkan kepala Rissa, memaksanya melihat ke atas mobil. Rissa menahan napas begitu dilihatnya ada tali tambang yang ujungnya telah terpotong menggantung tepat di atas mobil. Di belakang mobilnya terdapat tangga yang biasa dipakai Dudi untuk mengganti lampu atau sekedar membersihkan tempat-tempat yang tinggi.

“Di situlah rekanmu sedari tadi, Rissa. Kau terlalu fokus pada dirimu sendiri sampai hal seperti itu kau tidak menyadarinya,” Nico berbisik rendah tepat di telinga Rissa. Harus dia akui, dia dihantui ketakutan sehingga otaknya dipenuhi pikiran-pikiran untuk membuatnya lengah dari kenyataan.

“Kamu egois, terlalu fokus pada diri sendiri. Lihat dia, gara-gara kamu dia rela kerja lembur. Gara-gara kamu, dia mati.” Kini Nico mendorong Rissa ke lantai, menekan kepalanya hingga pipinya menyentuh lantai. Rissa bisa melihat dengan jelas tubuh Dudi yang tergeletak tak berdaya, bersimbah darah. Air mata membanjiri pipi Rissa, jatuh langsung ke lantai. Dalam hati ia mengiyakan perkataan Nico, dalam hati ia menyesal.

“Maka dari itu…kamu harus mati, sayang. Agar keegoisan kamu tidak menelan korban lagi.”

Rissa melirik ke arah suara Nico berasal. Pria itu sudah berada di atas tubuhnya, tangannya mencengkeram leher Rissa erat sedangkan yang lainnya teracung di udara, menggenggam erat pisau yang sebentar lagi menancap di jantung gadis malang itu.

Adrenalin dan berada dalam posisi terdesak membuat Rissa dapat berpikir jernih. Ditendangnya selangkangan pria itu, membuatnya mengaduh kesakitan. Ketika ia lengah, Rissa merebut pisau dari tangan Nico dan menancapkannya ke kaki Nico.

“Arrghh! Dasar wanita jalang! Sialan!” Nico mengumpat sambil meringis.

Dengan sedikit tenaga yang tersisa, Rissa bangkit berdiri dan bergegas berlari. Tapi Nico tak bisa dikalahkan dengan begitu saja. Ia mengambil sebuah pistol dari sakunya kemudian menembakkannya ke arah Rissa. Peluru panas itu menyerempet pinggang Rissa. Gadis itu menjerit dan spontan memegangi pinggangnya yang berdarah. Langkahnya menjadi tertatih namun ia tak pernah berhenti. Ia harus minta tolong, ia harus kabur.

Nico tak mungkin membiarkan mangsanya lepas. Ia beranjak berdiri dan berlari mengejar meski harus menahan rasa sakit. Luka di kakinya menciptakan jejak darah. Tapi ia tidak peduli, satu hal yang ada di pikirannya hanyalah membunuh gadis itu.

Langkah Rissa semakin melambat, darah sudah banyak keluar dari tubuhnya. Sedangkan Nico semakin cepat, tak ingin misinya gagal. Ketika jarak di antara mereka mulai menipis, Nico menarik paksa tangan Rissa, membuat gadis itu terhuyung dan kehilangan keseimbangan. Namun tangannya sempat mengayunkan pisau itu mengenai pipi Nico sebelum terhuyung ke belakang. Nico menggeram marah. Didorongnya Rissa hingga ia terjatuh ke tanah dengan Nico berada di atasnya.

Keinginannya untuk hidup membuat Rissa menjadi lebih kuat, ia meninju pipi Nico yang terluka hingga pria itu sedikit kehilangan keseimbangan. Rissa mencoba merangkak keluar dari kurungan Nico. Ketika pria itu menarik pundak Rissa, gadis itu refleks menancapkan pisaunya ke tubuh Nico. Rissa memejamkan matanya erat-erat. Nico terbatuk-batuk, suaranya seperti orang yang tercekik.

Dengan segenap keberaniannya, Rissa membuka mata. Dilihatnya pisau itu menancap tepat di dada Nico. Rissa memalingkan wajahnya dan memejamkan mata rapat-rapat, ia menggerakkan pisau yang masih menancap di dada Nico, memutar-mutarnya hingga organ dalam Nico terkoyak. Ia lalu mencabut pisau itu. Serentak tubuh Nico terjatuh menimpanya. Dengan jijik, Rissa menyingkirkan mayat Nico dan melanjutkan pelariannya. Ia sampai di sebuah kantor polisi dan menceritakan semuanya.

“Sekilas berita hari ini, pembunuh berantai tepi laut berhasil ditemukan. Nico, 27 tahun, adalah seorang karyawan di sebuah perusahaan ternama. Ia telah membunuh tiga gadis dengan menggunakan pisau saja. Nerissa, korban yang selamat, melaporkan semuanya dengan detail kepada pihak yang berwajib. Nerissa telah menjalin hubungan dengan tersangka selama satu tahun, dia tak pernah menyangka bahwa kekasihnya adalah seorang pembunuh. Demikian sekilas berita hari ini, berita selengkapnya dapat Anda saksikan nanti malam dalam acara Kupas Tuntas. Selamat malam.”

The End

3 thoughts on “Akhir

Leave a comment