Sampaikan Salamku Padanya

Kau percaya cinta yang abadi, Luna? Aku percaya. Ada cinta yang tak pernah pupus, meski raga sudah tak bernyawa. Meski jarak yang teramat jauh memisahkan.

Saat itu aku menjawab, bukankah tak ada yang abadi?

Dengan senyuman khasmu, kau berkata dengan lembut. Ada, Luna. Cintaku padamu demikian.

Malam ini terasa sepi. Para jangkrik yang biasa bernyanyi mendadak absen. Semilir angin menghembus masuk melalui jendela yang sengaja dibuka. Tirai-tirai tipis mengayun lembut mengikuti iramanya. Cahaya bulan mengintip malu-malu, seakan ragu untuk menerangi kamar yang gelap gulita ini.

Aku merapatkan dekapanku pada sesosok tubuh gagah di sampingku. Kepalaku bersandar di dadanya, merasakan detak jantungnya yang merdu, sebuah indikasi bahwa tubuhnya masih bernyawa.

Tapi ada yang aneh. Sedari tadi, ia diam saja. Matanya tertutup rapat. Tak biasanya ia langsung tertidur setelah berhubungan denganku. Kuperhatikan dadanya yang tak tertutup sehelai benang pun, naik turun sesuai irama napasnya.

Malam ini, meskipun gelap gulita, ia tampak lebih putih dan bercahaya dari biasanya. Seakan ada malaikat yang sedang meminjamkan cahayanya untuknya sejenak. Hanya untuk malam ini.

“Seth?” Kupanggil namanya namun ia tetap diam. Kutengadahkan kepalaku hingga mataku bisa melihat wajahnya dengan lebih jelas. Wajah pucatnya terlihat damai, terlalu damai bahkan.

“Seth? Seth Alexander?” Kuulangi panggilanku. Tak ada yang direspon olehnya.

Seth Alexander Jakub. Sang panglima besar yang terpilih, begitulah arti namanya. Nama yang begitu gagah, sesuai dengan dirinya. Pribadi yang kuat, pemberani, bertanggung jawab, pemimpin yang baik, seperti layaknya seorang panglima. Aku telah memilih panglima besar ini untuk menjaga hatiku. Aku bersedia berperang bersamanya, bersedia melindungi apa yang menjadi hak kami. Janjiku telah tercatat dan aku tak akan mengingkarinya.

Angin berhembus kencang, gemuruhnya membuatku menoleh pada jendela. Kertas-kertas laporan keuangan milik Seth berterbangan. Nominal-nominal yang bisa mencapai sembilan digit itu kini menjadi motif karpet tipis di atas lantai. Mataku terpaku pada tirai-tirai yang bergerak ke sana kemari dengan kewalahan, seakan tak sanggup menahan kencangnya hembusan angin malam. Rasanya aku bisa melihat angin itu. Bentuknya yang transparan dengan luwes bergerak kesana kemari.

Aku mulai mempertanyakan kewarasanku. Bisakah aku melihat angin? Bukankah angin itu adalah sesuatu yang tak kasat mata?

“Seth..?” Panggilku lagi dengan gemetar. Sedetik kemudian aku terkesiap. Aku bisa melihat gelombang suaraku bergerak keluar dari mulutku. Warnanya kuning pekat, sedikit kecoklatan.

“S-Seth! Apa ini?!” Aku beranjak duduk. Selimutku, satu-satunya pelindung tubuhku, terjatuh hingga pinggang. Namun angin itu membuat tubuhku menggigil seketika, aku menarik selimutku untuk menutupi tubuhku. Tanganku mengguncang-guncang tubuh Seth. Panglima itu masih terlelap. Damai, terlalu damai bahkan.

“Tenanglah, Luna sayang. Malam sedang merindukan bulan.” Akhirnya suara dalam Seth terdengar. Suara itu membuatku tenang. Perlahan-lahan angin kencang itu berhenti berhembus. Gelombang suaraku kembali tak terlihat. Keadaan berubah normal setelah panglimaku berbicara.

“Bukankah bulan ada di atas sana?” Kutatap bola mata cokelatnya dengan dalam. Dalam kegelapan malam, aku bisa melihat refleksi diriku di sana.

“Dia menginginkan bulan yang ini. Bulan yang ada di dekapanku sekarang.” Seth tersenyum. Senyumnya seindah hamparan bunga di musim semi. Cerah, indah, menenangkan.

“Katakan padaku, Seth. Apa yang terjadi tadi?”

“Sudah kubilang, malam sedang merindukan bulan.” Tangan Seth membelai rambut panjangku lembut. Aku mengernyitkan kening, masih tak mengerti dengan perkataannya.

“Tapi aku milikmu, panglima. Apa hak malam untuk merindukanku?”

“Kuberikan tugas padanya untuk menjagamu. Panglima ini telah habis masa jabatannya.”

“Tapi kau berjanji untuk selalu menjagaku, kita akan berperang melawan apapun yang menghalangi kita, kan?”

“Lawan kita kali ini terlalu kuat, Luna. Kita tak akan bisa melawannya. Aku tidak cukup tangguh untuk perang kali ini. Aku sudah kalah.”

“Tidak, kau pemenang –” Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, Seth sudah memotongnya.

“Sampaikan salamku padanya, Luna.”

Pada siapa, Seth? Pada pasukan-pasukanmu? Pada angka-angka yang setiap hari kau hitung?

“Pada seorang gadis yang kucintai sepenuh hati. Gadis yang membuatku rela berkorban apapun deminya. Seorang gadis yang begitu cantik, yang telah mencuri hatiku bahkan sebelum aku melihat wajahnya. Gadis yang tulus kusayangi dan tulis mencintaiku. Kamu tahu siapa orangnya, Luna.”

Ya, orang itu bukan aku. Ada gadis lain yang dicintai panglimaku. Orang yang betul-betul dikasihinya. Apakah aku cemburu? Tidak. Rasanya tidak pantas.

“Akan kusampaikan,” ucapku seraya mengangguk. Kembali Seth tersenyum, jemarinya tak henti membelai rambutku.

“Terima kasih. Aku mencintaimu, Luna.” Aku juga, Seth. Aku sangat mencintaimu.

“Sekarang tidurlah,” ujarnya. “Sampai bertemu nanti.”

Rasanya aku tidak mau memejamkan mata. Pemandangan di hadapanku terlalu menakjubkan untuk dilewatkan begitu saja. Seth sudah memejamkan matanya, napasnya sudah kembali teratur. Wajahnya kembali damai, terlalu damai bahkan. Tapi sekuat apapun aku menahan kantukku, tubuhku mengkhianatiku. Aku tertidur dalam hangatnya dekapan Seth.

Malam telah berganti pagi. Aku terbangun karena Mochi, kucingku, menjilati pipiku. Aku mengusap bulunya yang lembut kemudian memeluknya. Kucing itu terus mengeong dalam pelukanku, meronta hingga akhirnya melompat turun dari tempat tidur dan pergi keluar kamar.

Di sisiku hanya ada tempat kosong. Seth sudah menghilang. Biasanya aku yang membangunkannya, mungkin kali ini dia kerja lebih pagi. Aku beranjak duduk dan merasakan pusing amat sangat menerpa kepalaku. Tanganku memijat-mijat pelipisku, berharap dengan cara itu pusingnya bisa hilang.

Kuamati sekelilingku. Semuanya rapi, tak ada bekas kejadian semalam. Jendela masih tertutup rapat. Kertas-kertas laporan keuangan Seth masih tergeletak di atas meja dengan rapi. Bajuku masih menempel di tubuhku. Apakah aku bermimpi? Tapi mimpi itu terlalu nyata untuk disebut mimpi.

Setelah pusing di kepalaku mulai reda, aku melangkahkan kaki keluar kamar. Di ruang TV sudah ada gadis kecil yang asyik menonton kartun sambil membelai Mochi di pangkuannya. Gadis itu menoleh padaku ketika ia menyadari ada orang lain di ruangan itu selain dirinya.

“Pagi, Mama,” sapanya riang. Senyumnya mirip sekali dengan milik panglimaku. Cerah seperti mentari pagi, indah seperti hamparan bunga musim semi, dan menenangkan layaknya permukaan air laut.

Aku tak sanggup membalas sapaannya. Hanya sebuah senyum tipis yang terukir di bibirku. Perasaan aneh menghinggapi hatiku. Rasanya seperti berada di sebuah tempat yang memang tempatmu, tapi kau merasa tak pantas berada di sana. Seperti…kau datang dari dunia luar.

Perkataan Seth kembali terngiang. Aku harus menyampaikan salamnya. Lantas aku duduk di sebelah gadis kecil yang memanggilku mama itu.

“Attila, ada salam untukmu,” ucapku perlahan. Attila menoleh, bola mata cokelatnya menatap langsung padaku. Tatapannya mirip sekali dengan milik Seth.

“Dari siapa, Mama?”

“Dari ayahmu.”

Kulihat raut wajahnya berubah. Muncul kesedihan di sana, meskipun tak terlihat jelas. Attila, seperti ayah, itulah arti namanya. Dia memang mirip sekali dengan Seth. Hanya hidung dan dagunya saja yang mirip denganku.

“Tapi, Mama…ayah sudah meninggal.”

“Bicara apa kamu, Attila? Semalam ayahmu datang. Dia menitipkan salam untukmu. Dia bilang dia sangat sangat mencintaimu dan rela melakukan apa saja untuk berkorban untukmu.”

“…Nek? Nenek?” Attila memanggil ibuku dengan panik. Kenapa, Attila? Kau tidak percaya ayahmu semalam mendekapku di pelukannya?

Ibuku datang dengan tergopoh-gopoh. Celemek yang sudah kusam menutupi daster bunga-bunganya. Ia langsung menghampiriku dan menyentuh pundakku.

“Luna, kamu sudah minum obat?” Obat? Obat apa?

“Aku tidak sakit, Ma. Aku baik-baik saja. Semalam memang benar Seth datang padaku, dia menitipkan salam untuk Attila,” sanggahku. Apa-apaan sikap mereka. Memangnya aku gila?

“Mama mengerti kamu merasa kehilangan atas kepergian Seth, tapi..”

“Seth kan hanya pergi bekerja, kenapa reaksi kalian seperti ini?” Aku mengernyit keheranan. Aneh, pagi ini terasa sangat aneh. Padahal tadi malam semua terasa begitu normal.

Ibuku menyodorkan sebuah koran padaku. Tajuk utamanya membahas tentang kecelakaan pesawat. Di sana tertulis nama-nama korban yang berhasil diidentifikasi dan dinyatakan tewas. Nama Seth Alexander Jakub ada di sana, di urutan nomor 9. Aku melihat tanggal terbitnya koran tersebut. Tanggal 9 September 2009. Itu lima bulan yang lalu.

Semuanya seketika tak masuk akal untukku. Semalam Seth dengan jelas tidur di sampingku. Jantungnya berdetak, dadanya naik turun. Tidak mungkin hanya mimpi. Semua yang terjadi tadi malam nyata. Mungkin sekarang aku sedang bermimpi. Seth sedang bekerja dan aku sedang tertidur di ranjang kami. Ini mimpi.

Tapi ketika Attila memelukku dan mengusap punggungku perlahan, aku tersadar ini bukan mimpi. Ini kenyataan. Tidak mungkin mimpi terasa senyata ini. Lantas apa kejadian tadi malam? Mana yang mimpi, mana yang nyata?

Aku mulai ketakutan. Panik melandaku. Aku tidak bisa membedakan mana khayalanku dan kenyataan. Aku harus hidup dimana? Aku ada di perbatasan. Tidak, tidak ada perbatasan. Khayalanku dan kenyataanku melebur menjadi satu. Sakit yang tak tertahan menyerang kepalaku. Ibuku bergegas memberikan sebuah pil putih dengan segelas air mineral. Kuteguk pil tersebut. Napasku terengah-engah seperti habis berlari belasan kilometer. Pil itu mulai bereaksi. Perlahan-lahan aku kembali tenang.

Kau percaya cinta yang abadi, Luna?

Ada cinta yang tak pernah pupus, meski raga sudah tak bernyawa. Meski jarak yang teramat jauh memisahkan.

Kata-kata itu kembali terngiang di kepalaku. Suara Seth terdengar begitu jelas. Seakan-akan ia duduk di sampingku dan mengucapkan langsung kata-kata itu. Baiklah jika kau memang bertanya lagi, Seth. Akan kuberikan jawaban yang berbeda.

Aku percaya, Seth. Aku percaya.

Kuhabiskan hari itu dengan duduk diam di hadapan televisi. Ibuku pulang ke rumahnya yang terletak tak jauh dari apartemenku. Attila ikut dengan neneknya, katanya mereka sedang membuat sesuatu. Aku diajaknya namun aku menolak.

Malam mulai terbit, jendela di kamarku terbuka secara tiba-tiba. Angin malam menerobos masuk. Aku mengangkat Mochi dari pangkuanku dan meletakkannya di lantai. Aku beranjak berdiri dan melangkah masuk ke dalam kamar. Seth…ia pasti menyuruh angin malam untuk menjagaku.

Tanganku menyentuh kusen jendela. Kepalaku melongok keluar, mengamati jalan raya yang masih ramai di bawah sana. Pemandangan malam ini tampak lebih indah daripada biasanya. Mungkin karena Seth telah menitipkanku pada malam. Mungkin karena malam masih merindukan bulan.

Aku menginjakkan kakiku di kusen jendela, satu per satu. Perlahan aku mulai duduk di pinggiran. Mochi terus mengeong namun aku tak memperdulikannya. Aku ingin memeluk malam. Aku ingin berterima kasih karena telah menjagaku.

Malam, tolong pertemukan aku dengan Seth.

Malam menjawab permintaanku. Ia menarikku ke pelukannya. Angin malam setia menemani di sampingku. Aku terhempas, jauh ke dalam dekapannya. Dekapan yang ternyata tidak selembut dan sehangat yang kubayangkan. Sekelilingku menjadi gelap. Samar, kulihat Seth tersenyum dan menjulurkan tangannya untuk kuraih.

TAMAT

Leave a comment